Kamis, 31 Maret 2016

Mantra

     Kokok ayam sahut menyahut menyambut sinar surya. Aku masih larut dalam lantunan zikir pagi, bermunajat pada Allah pemilik waktu. Mukena kesayang berwarna hijau membalut tubuh dan Al-qur'an di tangan kanan. Menikmati zikir demi zikir, meresapkannya kedalam jiwa yang kerontang. Ala bizikrillahi tatma innul qulub, ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram. Zikir pagi menjadi pelindung hingga petang dari yang tampak maupun kasat mata. Hanya zikir yang menentramkan hati ketikan gulana mendera. Menanti sosok yang selalu menghiasi mimpi-mimpi. Wahai kau yang entah di mana kini temui aku di kehidupan nyata. Takkah kau lelah bertandang dalam bunga tidurku.

       Di sela doa kusisip namamu, kuadukan rindu yang kian hari kian menyiksa. Meratap pada Ilahi Rabbi, jika ini memang cinta biarlah ia datang pada waktu. Jika ini hanya nafsu, hapuskan ia dari ingatanku.

"Adinsa." Seseorang memanggil namaku.

Gadis berjilbab biru, tepat berdiri dibelakangku kini mengambil posisi duduk

disamping menatap lamat-lamat.

"Cinta sejati akan menemuimu, dan jika ia tidak datang menemui jelaslah bahwa ia bukan cinta sejatimu."

Mantra

      Apakah aku harus berlari meninggalkan semua ini, berlari mengejar mimpi, melepaskan masa lalu. Cinta tidak berbicara soal logika, ada rasa yang terkadang tak mampu di ungkap dengan kata. Waktu terus bergulir, dedaunan jatuh berguguran, musim penghujan telah berganti musim kemarau, lihatlah aku masih saja setia menunggu di tempat pertama kali kita bertemu. Musim kemarau dan debu berterbangan menyapu jalanan, pepohonan dan semua yang di laluinya. Aku masih bersama perasaan lima tahun lalu.  Duhai kau yang entah di mana kini, bukan hanya aku yang menunggu. Debu, angin dan gunung-gunung di lembah kita pun menanti. Kapan kau kan menemui kami dengan seyum ramah dan tutur katamu yang indah. Ribuan pria kutemui di luar sana, tak ada yang seelok sikapmu, tak ada sesantun katamu. 

       Lima tahun sudah kita berpisah, itu artinya ribuan hari kita tak pernah bersua. Lembah kita tak banyak berubah, pohon-pohon jarak masih patuh membenamkan akarnya di tanah gersang milik lembah kita. Apakah kau tak ingin menikmati kemarau di lembah ini dan merasakan panas di bawah terik matahari. Apakah kau tak rindu dengan suara gemericik air di sugai dan derasnya air terjun di lembah kita. Apakah kau tak ingin memandangi hamparan hijau tanaman padi dan gemerlap lampu di malam hari?

   Sejuta kata tersimpan dalam diam, tersembuyi dalam doa. Menghabiskan siang, bercengkrama dengan angin, menghabiskan malam menatap bulan dan bintang gemintang.  Meski kita terpisah jarak dan waktu, namun  kita tetap berada di bawah langit di atas tanah yang sama dan memandangi bulan yang sama

Pria Idaman, Pria yang Beriman

Pertanyaan Adinsa gadis berjilbab abu-abu, membuat Kak Teti terdiam, kedua kakinya berhenti menginjak pedal mesin jahit.
"Maksudnya? Pria yang rajin shalat, rajin mengaji, tapi kalau urusan rezeki dia berdalih rezeki Allah yang atur. Kakak tidak mengerti, memang ada yang seperti itu?"

Adinsa tersenyum, memandangi kak Teti dengan raut muka masih terlihat kebingungan. "Maksud aku, pria yang rajin ke mesjid, tapi kalau kerja untuk memenuhi kebutuhan anak istri, pasrah aja. Waktunya di habisin untuk shalat, nganji berdiam diri di rumah dan di mesjid."

Kak Teti mengela nafas, mencoba mencerna kata-kata Adinsa, " Kak Teti tahunya pria beriman itu adalah mereka yang memiliki  pemahaman agama yang baik, nggak berat sebelah. Imbang antara dunia dan akhirat. Pria yang rajin shalat, puasa, ngaji zakat pastilah ia bertanggung jawab pada anak dan istrinya."

"Sendainya ada yang seperti itu kakak pilih yang mana?"
Kak Teti menarik nafas panjang, memperbaiki letak jilbab ungu yang ia kenakan.  Berbalik badan, duduk tepat di depan Adinsa.

"Kakak tidak akan memilih kedua-duanya, karena bagi kakak pemahaman agama yang baik adalah modal utama dalam sebuah pernikahan. Keimanan tidak bisa dibeli dengan harta sebanyak apapun. Ketakwaan kunci kebahagiaan dunia dan akhirat, bagaimana mungkin sakinah ada dalam rumah tangga jika tidak ada kepatuhan kepada-Nya."

"Tapikan bisa saja ada yang seperti itu." Adinsa menyela.

"Bagi kakak pria idaman pria yang beriman." Jawab kak Teti mantap.

"Bisa saja kan kak." Adinsa tidak menyerah, ia belum puas dengan jawaban kak Teti.

Kak Teti membalikkan badan, kembali menginjakkan kakinya di atas pedal mesin jahit. Ia mengayunkan kaki, suara mesin jahit terdengar. "Kamu kenapa Adinsa? Jangan-jangan?" Kak Teti balik bertanya.

"Jangan-jangan apa?" Wajah tirus Adinsa terlihat penasaran.

"Yah, Jangan-jangan, jangan-jangan."

"Apaan sih?" Adinsa mulai kesal.

"SMS yang semalam itu," kak Teti menaha tawa.

"SMS apa?"

Selasa, 29 Maret 2016

Pria Idaman, Pria yang beriman

Sore itu, ketika matahari perlahan membenamkan diri di ufuk barat. Bersembuyi di balik gunung, tampak cahaya keemasan sang surya masih menyinari lembah Sigi. Lembah yang tak seindah dulu lagi rupanya. Debu berterbangan dan hamparan pohon jarak tumbuh di atas tanah-tanah gersang.

Sementara petang kan beranjak, dua anak manusia, asik bercengkrama di depan mesin jahit dan tumpukan kain. Satu, dua sisa potongan kain berserak di lantai.

"Pria yang mampu menjadi imam dalam keluarga, siapa yang tidak menginginkannya," kak Teti membuka pembicaraan. "Dia yang bertanggung jawab, bekerja keras membimbing anak dan istrinya untuk memahami ilmu agama," lanjutnya.

"Pria yang memiliki pemahaman agama yang baik serta pengamalannyaa yang baik pula." Sambung gadis, yang mengenakan jilbab besar berwarna abu-abu.

Suara mesin jahit menyatu dengan percakapan mereka. Sesekali gadis berjilbab abu-abu menggerutu, kesal karena benang putus.

"Kak Teti pilih yang mana?" gadis berjilbab abu-abu mengajukan pertanyaan. "Pria pekerja keras, bertanggung jawab, memenuhi kebutuhan anak dan istri tetapi tidak shalat atau pria yang rajin halat, mengaji, puasa sering berkumpul di mesjid tetapi untuk urusan kebutuhan anak dan istri dia berdalih rezeki Allah yang atur."

Bersambung...

Senin, 28 Maret 2016

Memantaskan Diri

      Cerdas, rupawan, hartawan dan dermawan adalah kriteria pendamping hidup yang dulunya aku dambakan. Hari berganti minggu, proses demi proses terlewati, pernah percaya namun di kecewakan dan pernah kecewa karena terlalu percaya. Cinta berubah benci, tangis dan malu menjadi satu, pilu dan rindu bergemuruh, ketika harap dan ratap bertemu. Aku memilih menjaga hati agar ia tak sakit lagi, agar luka yang dulu tak menganga kembali. Sebab aku pernah percaya namun di kecewakan dan pernah kecewa karena terlalu percaya.

      Tahun-tahun menyakitkan terlalui, aku bisa berdiri meski terkadang jatuh dalam kenangan masa lalu. Menatap  pagi dengan senyum, biarlah waktu menjadi penawar luka sayatan di hati. Tangis telah reda tapi tidak untuk perasaan yang terlanjur terkoyak. Pupus sudah angan, ia cerdas ternayata culas, rupawan pandai bermain hati, hartawan tetapi memandang remeh kehidupan orang.

       Seberapa pantaskah aku untuk mendapatkan pendamping yang sholeh?
Tanya itu kini muncul di benakku, tatkala hati mulai menerima kejadian-kejadian menyakitkan di masa lampau. Teringat Hasan Al Basri pernah memberi nasehat kepada seorang ayah, nikahkanlah anakmu pada pria yang bertakwa, sebab jika ia mencintainya ia akan memuliakanya dan jika ia tidak mencintainya  ia tidak akan menghinakannya. Bilakah aku bertemu dengan yang pria yang bertakwa? Seberapa pantaskah aku untuk mendapatkannya?

      “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan  yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)...” (Q.S An-Nur : 26)

Akukah perempuan-perempuan yang baik itu?

Dan Pantaskan aku untuk laki-laki yang baik itu?

Dapatkan rezekinya, raih pahalanya

Bekerja bukan sekedar mencari rezeki, bekerja juga  merupakan ibadah. Lelah tidak hanya di bayar dengan rupiah tetapi juga pahala.  Esensi ibadah tidak semata-mata shalat, puasa, zakat, sedekah, dan naik haji.  Ibadah di bagi menjadi dua jenis, yaitu ibadah mahdhah dan ibadah gairuh mahdhah.

Apa itu ibadah mahdhah?
Ibadah mahdhah atau ibadah khusus adalah hubungan manusai dengan Tuhannnya. Yaitu hubungan yang akrab dan suci antara seorang muslim dengan Allah SWT yang bersifat ritual (peribadatan), ibadah mahdah merupakan manifestasi dari rukun islam. Ibadah yang sudah jelas  zahir perintah dan larangannya tidak memerlukan penambahan atau pengurangan. Nah, sudah tahu kan apa jenis-jenis ibadahnya? Yap, shalat, puasa, zakat, naik, haji, umrah bersuci dari hadas besar maupun kecil. Rumusnya “KA + SS”, Karena Allah + Sesuai Syariat.

Apa itu ibadah gairuh mahdhah?
Ibadah gairuh mahdah berarrti mencakup semua perilaku manusia  yang hubungannya dengan manusia. Ibadah gairuh mahdah sering juga disebut ibadah umum, atau muamalah. Segala sesuatu yang dicintai Allah, baik berupa perkataan atau perbuatan, lahir maupun batin yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Rumus untuk ibadah gairah mahdhah “ BB + KA” berbuat baik + karena Allah.

Bekerja adalah perbuatan yang baik selama caranya sesuai syariat. Menjadi seorang muslim tidak ada alasan untuk malas bekerja, jika paham hakikat bekerja yang sebenarnya. Bekerja apa saja, selama halal dan di niatkan semata-mata karena ingin meraih ridha Allah SWT, akan bernilai pahala. Raih pahalanya dapatkan rezekinya, di dunia di bayar dengan rupiah, di akhirat insyaAllah di balas dengan surga.

Minggu, 27 Maret 2016

Sesungguhnya Kita Adalah Saudara




Tulisan ini khusus untuk menjawab tantangan ODOP di pekan ke empat. Pengalaman yang paling berkesan dalam hidup. Ada banyak pengalaman yang paling berkesan dalam hidup saya, salah satunya adalah tulisan dengan judul seseungguhnya kita adalah saudara.

Sampai detik ini saya belum mengerti, mengapa begitu banyak orang-orang yang mengaku islam  saling menghina dan menjelek-jelekkan. Menganggap paling benar yang sekufu dengannya dan yang berbeda dianggap berpaling dari kebenaran.


Ada kisah yang tak mengenakan dan membuat saya berfikir , mengapa sesama muslim saling mencela. Dua kisah bertema sama dengan lokasi yang berbeda, intinya sama-sama tidak menyukai muslimah-muslimah yang mengenakan tudung labu (jilbab besar).  Dari dua pengalaman yang tidak mengenakan itulah saya mencoba memahami situasi yang terjadi.

Tidak ada manusia yang sempurna, perkataan itulah yang paling tepat untuk menanggapi kekeliruan  sebagian orang kepada muslimah-muslimah yang mengenakan jilbab besar. Satu yang salah, semua  dianggap sama.  Merata-ratakan penilaian, karena itulah beban muslimah yang baru  berhijrah semakin bertambah.

Belajar dan saling memahami, sesungguhnya kita adalah saudara. Setiap muslim adalah sudara haram diambil nyawa, harta dan kehormatannya. Tidak dikatakan beriman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya  seperti ia mencintai dirinya sendiri.
Tulisan  ini mewakili rasa dan seribu tanya, mengapa banyak caci dan cela. Mengapa kita merasa teramat jauh berbeda, bukankah kita sama-sama menginginkan surga. Perbedaan adalah rahmat, maka tidak perlulah kita saling menghujat mencari pembenaran.
Belajar untuk saling mengerti, terlebih pada mereka yang memiliki ilmu yang lebih.

Ada kisah yang tak mengenakan dan membuat saya berfikir , mengapa sesama muslim saling mencela. Dua kisah bertema sama dengan lokasi yang berbeda, intinya sama-sama tidak menyukai muslimah-muslimah yang mengenakan tudung labu (jilbab besar).  Dari dua pengalaman yang tidak mengenakan itulah saya mencoba memahami situasai terjadi.

Tidak ada manusia yang sempurna, perkataan itulah yang paling tepat untuk menanggapi kekeliruan  sebagian orang kepada muslimah-muslimah yang mengenakan jilbab besar. Satu yang salah, semua  dianggap sama.  Merata-ratakan penilaian, karena itulah beban muslimah yang baru  berhijrah semakin bertambah.

Belajar dan saling memahami, sesungguhnya kita adalah saudara. Setiap muslim adalah sudara haram diambil nyawa, harta dan kehormatannya. Tidak dikatakan beriman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya  seperti ia mencintai dirinya sendiri.

Tulisan  ini mewakili rasa dan seribu tanya, mengapa banyak caci dan cela. Mengapa kita merasa teramat jauh berbeda, bukankah kita sama-sama menginginkan surga. Perbedaan adalah rahmat, maka tidak perlulah kita saling menghujat mencari pembenaran.
Belajar untuk saling mengerti, terlebih pada mereka yang memiliki ilmu yang lebih.