Rabu, 28 Februari 2018

Hijrahmu untuk siapa?

Aku malu. Sungguh betapa aku mangakui kejahilan ini. Benar aku telah hijrah, belajar menjadi baik. Berproses memperbaiki kesalahan yang dulu pernah ku lakukan.

Seiring berjalannya waktu, aku telah menjadi muslimah yang baik, itu kataku. Iya, aku tidak berpacaran, tidak juga menjalin hubungan tanpa status, tidak mencari-cari perhatian pada seorang ikhwan.

Aku benar telah melakukan hal yg di ajurkan agama, menjaga diri, juga menjaga hati.  Tidak  ku pamer ibadahku di media sosial. Tidak juga ku umbar mushaf yang telah kuhatamkan. Tidak pula ku pasang foto profil, wanita sholehah. Tidak pernah sekalipun ku upload foto diri dengan jilbab panjang tergerai dengan gamis menjuntai. Tidak!  tidak pernah sekalipun ku perlihatkan diriku dan amal-amal baik yang pernah ku perbuat.

Aku bersembunyi, di balik keramaian dunia maya . Ketika orang-orang sibuk memperlihatkan apa yang pantas di banggakan.

Semoga dalam kesunyian ini, Allah mempertemukanku dengan seseorang yang juga sibuk menyembunyikan diri dengan amal-amal baiknya. Harapan yang dulu sangat bangga ku ceritakan pada kawan-kawanku.

Dengan hati berbunga ku tuliskan di akun pribadi. "Sungguh, jika disana kamu menjaga, disini aku akan setia" Untuk siapa? Untuk  dia, seseorang yang tak tau kapan datangnya. Untuk Tuan tak bernama. Untuk seseorang yang tak tau di mana rimbanya.

Ibadah-ibadah yang ku lakukan, bukan untuk surga yang ku tuju, bukan lagi ridho  yang ku cari. Tapi dia, yang ku selip kriterianya dalam doa, "Baik akhlak dan agamanya"

Aku ingin baik. Ya... Karena aku ingin di pasangkan pula dengan yang baik. Aku ingin taat, karna aku ingin dia yang taat pada Rabbku.

Hijrah ini untuk siapa?

Selasa, 01 November 2016

Tentang Kita

Ya akhi, jika engkau berpikir hadirku kembali, menghidupkan rasa yang lama. Maaf ya Akhi, sungguh tidaklah demikian maksud hati ini.

Ya Akhi, tidak ku sesalkan kita pernah bersama, tidak pula ku tangisi perpisahan di antara kita. Begitulah takdir yang harus dilewati. Luka memang, tapi tidak mengapa jika kita mampu mengambil pelajaran darinya.

Ya Akhi, justru sangat ku sesalkan bila di hati kita masih terselip harapan untuk kembali bersama, berdua-duaan, bercengkrama hingga larut malam, saling memberi perhatian, saling merindukan padahal kita paham bahwa perilaku semacam itu tak dapat di benarkan.

Ya Akhi, maaf jika aku pergi tanpa pamit. Sebab rasanya tak ada alasan yang bisa ku jelaskan. Sebagimana dulunya aku datang tanpa permisi.

Senin, 31 Oktober 2016

Hati yang lelah

  اسلام عليكم
Apa kabar saudariku?
Semoga hati-hati kita masih sama seperti yang dulu.
Rindu, sungguh hati ini merindu  ya ukhti. Rindu kebersamaan, tawa, canda, celoteh dan hari-hari dimana kita berjuang, mengikis ego, saling memahami. Kita memang berbeda namun tujuan kita sama.
.
Apa kabar hati-hati kita, mungkinkah ia mulai lelah?  Atas amanah yang dibebankan. Atas perjuangan tanpa ujung.
.
Masihkah kita menjadi orang-orang pilihan.  Insan yang diberi kesempatan, lebih dari yang lain. Mengemban tanggungjawab sekaligus belajar.
.
Hati kita mungkin mulai lelah, melihat kenyataan yang tak seindah harapan.
Ingat ya ukhti,  tugas kita menasehati bukan menghakimi,  tugas kita memahamkan bukan memaksakan.
Paham tanpa paksaan, paham tanpa hinaan.
.
Dakwah sungguh tak lagi Indah jika niat kita telah berubah yang dulunya untuk Allah sekarang berubah karena untuk manusia, untuk organisasi dan kepentingan kelompok.
.
Tugas kita memperbaiki tanpa harus merusak. Jika ada yang salah hari ini, bukan manusianya yang salah. Barangkali hati-hati kita sedang kotor, sedang lelah dan niat kita mungkin telah berubah pula.
.
Sebelum memperbaiki umat, jauh lebih kita memperbaiki hati.

Kamis, 13 Oktober 2016

Jawaban yang tak sesuai kenyataan

Entah hanya aku mungkin yang merasa, atau mungkin juga ada segelintir orang diluar sana merasakan hal yang sama.

Entah kemana harus bertanya, entah pada siapa harus berbagi. Keresahan yang menghadirkan banyak tanya. Mengahantarkan pada kegelisahan yang tak berujung.

Ku temukan diriku dulu hanya seorang anak manusia yang mengaku beragama. Namun, hidupnya sangat jauh dari nilai-nilai agama. Ku tahu Tuhanku, sekedar tahu saja. Ku tahu nabiku, sekedar tahu saja.

Hidayah menyapa. Setelah begitu banyak pertanyaan bergemul di benak. Dari mana? Hendak apa? Kemana muara kehidupan ini?

Satu persatu pertanyaan mulai terjawab. Aku pikir ketika ku temukan jawaban, keresahanku mulai berkurang.

Entah mengapa, ada sekelumit tanya yang tak bisa terjawabkan, meski berkali-kali ku temukan jawaban.

Jawaban yang benar, kenyataan yang berbeda, mungkin demikian. Apa yang salah? Begitulah tanya yang seakan enggan pergi.

Dari satu langkah ke langkah yang lain, dari satu tempat yang lain. Ku temukan fakta, bahwa banyak orang-orang dan akupun di antaranya.

Bangga pada tempat kajiannya, membangga-banggakan lalu dengan sadar merendahkan yang lain. Membangga-banggakan lembaganya, ormasnya meremehkan yang lain. Mebangga-banggakan kelompoknya merendahkan yang lain.

Yang tak sepaham berarti tak segolongan. Engkau dari mana, aku dari mana.

Bukan. Bukan karena aku bingung menyimpulkan mana yang benar mana yang salah. Hanya saja aku bingung, kenapa semua merasa benar, sibuk membenar-benarkan dan yang paling membingungkan kenapa sibuk menyalahkan.

Entahlah... Mungkin hanya aku yang merasa. Mungkin hanya aku pula yang sibuk bertanya.

*Adibah Damayanti

Rabu, 12 Oktober 2016

Tentang Kita (Part 1)

Teruntuk dirimu yang tertulis namanya di lauh mahfuz, yang terus memperbaiki diri, istiqomah dalam kesendirian, menjaga pandangan tidak pula mengumbar harapan. Kelak, jika kita bertemu, semoga engkau menemukan diriku seperti halnya dirimu.

Jika aku berharap kebaikan yang apa pada dirimu adalah kebaikan untukku. Kaupun berhak mendapatkan kebaikan yang ada pada diriku.

Semisal ada keburukan pada dirimu, tentulah kan kau temui keburukan pada diriku.

Sebagimana usaha dan sabarmu, sedemikian pula ikhtiar dan doaku.

Jika tak satupun wanita yang berani kau sentuh jemarinya. Maka tak satupun lelaki yang ku izinkan menyentuh jemariku.

Sebesar apa harapanmu agar dipertemukan dengan yang terbaik, sebesar itu pula harapanku.

*Adibah Damayanti

Selasa, 11 Oktober 2016

Menyesal, kenapa baru baca sekarang

Dulu... Waktu masih kuliah buku yang satu ini, jangankan baca, liat judul sama sampulnya saja sudah tdk suka. "Nikmatnya pacaran setelah pernikahan" di tambah gambar ada pasangan suami istri lagi boncengan naik sepeda. Keknya pembahasannya nikah-nikah, malas masih kuliah, mau fokus jomblo dulu (hehehe) fikiran saya waktu itu.

Cukup lama buku ini menginap di kos, selama itu juga saya tidak pernah baca bukunya, liat dari kejauhan. Tidak tertarik sama sekali.

Ada beberapa senior merekomendasikan, "Baca dek, bukunya Bagus. " kesimpulan dari mereka isinya Bagus. Fikir saya paling senior, mau menikah, makanya bilang Bagus.

Beberapa tahun kemudian, saya akhirnya membeli buku ini juga. Alasannya, buka karena penasaran sama tulisannya yang katanya keren itu, tapi karena kebiasaan saya beli buku di toko buku online kalau timbangannya belum cukup 1 kg, mesti tambah 1 buku lagi. Sayang ongkir ( hehehe)

Entah karena waktu itu saya sedang galau atau entah karena apa, yang pasti sebab izin Allah. Saya membaca buku ini sampai selesai. Dan kesimpulannya, saya menyesal kenapa baru baca bukunya bulan September kemarin, kenapa tidak dari tahun-tahun kemarin.

Nikmat Pacaran Setelah Pernikahan, menggugah dan menginspirasi.

Malam ini, sahabat skaligus spupu plus teman sekos saya, lagi baca buku ini. Baru halaman awal sudah meneteskan air mata. Saya tidak tahu karena dia terbawa perasaan atau entah karena berpikir, "kenapa baru baca bukunya sekarang. "

Nah, buat kamu-kamu yang sedang di uji perasaanya. Sedang dekat sama seseorang tanpa kejelasan dan kamu tahu apa hukumnya. Tapi, karena kurang yakin, setengah-setengah berhijrah, tetap saja berhubungan. Buku ini bisa jadi solusi.

Tulisan ini tidak bermaksud promosi. Sekedar ingin berbagi, merekomendasikan buat para muslim wa muslimah yang belum ingin menikah, yang punya gandengan tapi belum nikah² atau yang ingin menikah tapi belum punya gandengan (calon).

*Adibah Damayanti

Jumat, 07 Oktober 2016

Markas Muslimah

Kenyataannya kalian memang menyebalkan, suka membuat kesal, gaduh, usil. Terlepas dari semua itu bagiku kalian adalah guru-guru kehidupan.

Terimakasih, karena menjadikanku bagian dari kalian. Betapa hati ini merindu, rindu akan prinsip dan saling menghargai di antara kita.

Tentang malam minggu, bahkan kita rela menghabiskan ratusan malam minggu, di dalam rumah tanpa berfikir waktunya jalan-jalan untuk melepas penat sepekan. .
Ketidak adaan uang jadi alasan utama, ketidak adaan pacar adalah alasan berikutnya. Tapi tidak mengapa, kita adalah orang-orang bahagia.

Siapa diantara kita yang membawa teman lelaki, sahabat saudara atau siapa saja yang hendak bertamu, akan meminta izin terlebih dahulu, memberi tahu siapa yang akan datang. Jam 10 adalah batas maksimal waktu bertamu. Selebihnya, dikembalikan ke perasaan tamu, dan orang yang di kunjungi.

Jika ada yang keluar rumah, maka selalu ada pemberitahuan lewat sms, jam berapa pulang, tanpa harus ditanya, tanpa harus di peringatkan.

Dan dengan siapa pergi, pasti ada salah satu di antara kita di beri tahu, jika sifatnya privasi.

Hebatnya kalian, itu semua terbentuk tanpa peraturan tertulis. Karena ada rasa saling menghargai, rasa "tidak enak" yang membentuk rasa saling memahami. Hingga akhir kuliah, kita tetap bertahan di satu rumah yang sama dengan orang yang pula.

Dengan bangga ketika pulang kampung aku menceritakan kalian kepada orang rumah. Tentang kita yang tidak pernah berseteru perihal makanan. Tentang kita yang selalu kompak mengumpulkan uang bulanan. Tentang kita selalu bersedia membayar denda karena lupa atau sengaja tidak melaksanakan tugas bersih-bersih. Tentang kita yang selalu ada hari untuk makan bersama. Tentang kalian dengan prinsip hidup luar biasa.

Terimakasih, karena dari kalianlah aku belajar tentang kesederhanaan. Dengan
seapaadanya kalian, tidak ada alasan untuk tidak bahagia.

Tetaplah seperti yang dulu, meski kita tidak lagi menjadi penghuni markas muslimah. Tetaplah seperti dulu, tetap pegang prinsip, bahwa kita tidak akan melepas status "Jomblo" hingga Allah, mempertemukan kita dengan pria yang bertanggung jawab, yang tidak berani mendekat karena modal nekat.

Suatu hari nanti, aku akan bercerita pada "Abu goib" begitulah kalian menyebutnya. Tentang kalian yang luar biasa. Suatu hari nanti aku akan bercerita pada anak-anakku, ponakan mungil kalian, bahwa mereka memilik tante yang luar biasa seperti kalian. Suatu hari nanti aku sangat bangga membagikan kisah kita kepada cucu-cucuku, bahwa mereka memiliki nenek luar biasa, seperti kalian.

Jika diberi kesempatan, aku akan mengajak "Abu goib" bersama ponakan kalian, melihat kembali sejarah, perjalanan hidup kita di kota Daeng.
Semoga kita bisa bertemu di sana, bersama "Abu goib" kalian dan tentu bersama penokan-ponakanku yang lucu-lucu.

Salam rindu untuk kalian penghuni "Markas Muslimah"

*Adibah Damayanti