Kamis, 31 Maret 2016

Mantra

      Apakah aku harus berlari meninggalkan semua ini, berlari mengejar mimpi, melepaskan masa lalu. Cinta tidak berbicara soal logika, ada rasa yang terkadang tak mampu di ungkap dengan kata. Waktu terus bergulir, dedaunan jatuh berguguran, musim penghujan telah berganti musim kemarau, lihatlah aku masih saja setia menunggu di tempat pertama kali kita bertemu. Musim kemarau dan debu berterbangan menyapu jalanan, pepohonan dan semua yang di laluinya. Aku masih bersama perasaan lima tahun lalu.  Duhai kau yang entah di mana kini, bukan hanya aku yang menunggu. Debu, angin dan gunung-gunung di lembah kita pun menanti. Kapan kau kan menemui kami dengan seyum ramah dan tutur katamu yang indah. Ribuan pria kutemui di luar sana, tak ada yang seelok sikapmu, tak ada sesantun katamu. 

       Lima tahun sudah kita berpisah, itu artinya ribuan hari kita tak pernah bersua. Lembah kita tak banyak berubah, pohon-pohon jarak masih patuh membenamkan akarnya di tanah gersang milik lembah kita. Apakah kau tak ingin menikmati kemarau di lembah ini dan merasakan panas di bawah terik matahari. Apakah kau tak rindu dengan suara gemericik air di sugai dan derasnya air terjun di lembah kita. Apakah kau tak ingin memandangi hamparan hijau tanaman padi dan gemerlap lampu di malam hari?

   Sejuta kata tersimpan dalam diam, tersembuyi dalam doa. Menghabiskan siang, bercengkrama dengan angin, menghabiskan malam menatap bulan dan bintang gemintang.  Meski kita terpisah jarak dan waktu, namun  kita tetap berada di bawah langit di atas tanah yang sama dan memandangi bulan yang sama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar